Tuesday, October 30, 2007

SEX DISORIENTATIONKelainan seks, atau sexual disorder/dysfunction.


Kelainan seks, atau sexual disorder/dysfunction. What the…? Apakah saya terlihat seperti memiliki gangguan seks? Atau saya dapat dimasukan dalam kategori Charlotte dalam filem serial Sex and The City, sehingga mereka memancing saya? Apakah karena mulut saya yang sompral dan tak punya sensor dalam mengatakan kata-kata kasar khusus seputar seks sehingga saya dianggap mahir, berpengalaman dan tak sungkan merambah ke hal seperti itu?

Pengalaman yang saya anggap kelainan seks sintin, yang hanya satu-satunya pernah saya alami adalah ketika seorang kakek-kakek mesum bersepeda, mendatangi mobil kami di Pangandaran, saat kakak ipar saya sedang berganti pakaian memakai pakaian renang. Saya sendiri berdiri mengenakan sepasang celana pendek dan bikini. Ia berhenti tepat di depan saya. Saya sangka ia adalah pemilik kerbaukerbau yang sedang memamah biak di dekat kami. Dari lubuk hati saya yang terdalam, sungguh tidak ada niat menggoda pak tua. Saya pikir juga para wanita di desa sana sering mandi hanya dililit oleh sarung atau kemben, beberapa nenek di sana saya lihat hanya berkutang dan bersarung sedang menghisap rokok kelobot. Jadi pemandangan bikini itu biasa saja baginya. Saya menganggukkan kepala, memberi salam. Ia tersenyum biasa. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya, benar-benar membuat saya panik, jijik, ngeri dan tertawa terbahak-bahak setelahnya. Perlu diingat, sepanjang perjalanan menuju Pangandaran, entah mengapa, kami semua berdelapan yang terdiri dari kawan-kawan dan saudara seumur bernyanyi menggunakan katakata yang mengarah mesum, terutama daerah teritori kaum pria. Sudah pasti anda bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Mungkin karena saya percaya tahayul, terutama daerah sekitar pantai Laut Selatan. Hingga pada akhirnya kami para wanita dihukum karena terlalu sesumbar mengeluarkan makna yang cukup tabu. Kembali pada kakek-kakek yang masih tersenyum tersipusipu seperti Dopey dalam cerita Snow White. Ia lalu mengarahkan kedua tangannya ke arah resleting celana. Dengan refleks cepat, karena
saya cukup sensitif dan paham dengan perilaku yang sudah mengarah ke arah seks, maka tanpa melihat lagi apa yang keluar dari sana, saya berteriak kencang, "Anj*&% bangsat! Jiiiii (nama samaran kakak ipar), cepetan keluaaaar! Ada kakek eksibisionis gilaaaa!" Keenam kawan-kawan dan saudara kami sudah jauh di pantai sehingga tak dapat mendengar apaapa, juga sedang tak memperhatikan kami. Untung saja kakak ipar sudah selesai berganti pakaian. Kakek itu berjalan ke arah kami dan saya tak berani melihat ke arah bawah. Ia terkekehkekeh kesenangan dan terus mendekati kami. Cepat-cepat kami berlari ke arah pantai dengan tangan saya memegang kunci alarm mobil dan memencet tombol sambil berlari. Setelah itu baru kakak saya dan yang lain sudah hendak menghajar kakek itu, namun tak tega. Karena kelihatannya ia sama sekali tidak merasa bersalah. Kakek itu malahan sempat berjalan-jalan sesaat walau tak mendekati kami kembali, lalu meneruskan perjalanannya menaiki sepeda yang melenggang menemaninya mencari mangsa baru. Nah hanya itu saja pengalaman saya mengenai kelainan perilaku seks. Tetapi, mungkinkah hanya itu saja yang saya sadari? Nah lo!

Sudah cukup mengenai ke ego sensitifitas saya yang terus bertanya mengapa? Oh mengapa saya? Akhirnya benar-benar saya tertantang untuk menulis. Sudah pasti saya tak akan menulis secara ilmu kedokteran maupun secara ilmu psikiatris dan psikologis, karena itu bagian para ahlinya. Yang akan saya berikan, yah, mungkin dapat anda baca setelah kalimat ini. Dari pengalaman tadi, saya mulai berpikir. Banyak manusia, masyarakat dari berbagai pengaruh sosial, ekonomi, dan kebudayaan memiliki standar kelainan seksual maupun moral dari seks itu sendiri yang sudah tentu berbeda dari yang lainnya. Yang membuat sama hanyalah "orang-orang kota", atau mereka yang hidup dan berinteraksi dengan mereka yang telah menjadi masyarakat dengan kehidupan terglobalisasi. Standar moral mereka hamper sama, juga kebiasaan-kebiasaan mereka sejak kecil hingga dewasa, setidaknya mereka hidup dalam masyarakat yang memiliki standar yang kurang lebih mirip satu sama lain.

Kita ambil contoh saja, suku-suku pedalaman di cina. Saya pernah menonton saluran televisi di Hong Kong mengenai gaya hidup seksual dan mating season mereka, hingga ke kebiasaan kehidupan perkawinan mereka, yang merupakan bagian dari ritual suci mereka. Percaya atau tidak, saya berpikir bagaimana bisa mereka menghadapinya. Saya sendiri tak bisa. Sungguh penuh dengan bermacam-macam tradisi yang bagi saya sangat tidak lazim. Lupakan poligami, ada yang lebih heboh, dari cara para gadis perawan yang memperlihatkan separuh payudara kanannya di perayaan perkenalan antara kaum muda-mudi. Jika ada pria yang tertarik maka ia akan menyentuh bagian payudara yang dipamerkan mereka, dan mereka berdansa berdua. Mungkin kalau tiba-tiba seorang gadis dari pedalaman tersebut tersesat ke kota ini dan memperlihatkan separuh payudaranya di club atau bar-bar gaul, maka separuh cewek akan berkomentar, "Desperate amat sih! Sampe nawarin to***, saking ga lakunya! Jual murah, jual murah! Eksibisionis amat!" Atau saat mereka sudah dijodohkan sejak bayi, namun pada masa sebelum kawin mereka boleh "tidur" dengan siapa saja, dengan cara memohon ijin pada orang tuanya dulu sebelum "that magic moment" hingga tiba saatnya mereka harus bermonogami dan menikah dengan yang sudah ditunjuk, mau atau tidak mau. There's no choice, sucker! Bagaimana jika mereka sudah terbiasa untuk melakukan seks dengan banyak orang lalu dipaksa akhirnya hanya cukup satu saja? Di sini mungkin kita mengatakan ia seorang promiscuous sex addict. Dan yang terakhir saya ingat, ini yang paling mutakhir. Seks bebas, sebebas-bebasnya, namun masih ada toto kromonya. Jika seorang pria hendak melakukan "kencan" dengan istri seseorang, maka ia hendaknya datang membawa lentera ke rumah pasangan tersebut. Setelah itu makan malam bersama seluruh keluarga termasuk sang suami. Setelah itu sang suami pun akan pergi ke rumah dara lain, atau istri lain dengan cara yang sama, memberi waktu pada istri dan "kawan"nya untuk do that horny thang. Ingat, tak ada kondom di sana. Lalu kalau kebobolan dan ternyata anak pasangan itu adalah anak teman kencan mereka? Yang terakhir agak melenceng memang dari kelainan seks karena itu hanya sebatas moral saja.

Ok, balik lagi ke pokok pembahasan. Siapa sih yang membuat standar kelainan seks yang sekarang sudah mendunia? Fetishism, frotteurism, exhibitionism, voyeurism, paedophilia, transvestite fetishism, homosexuality, dan masih banyak yang lainnya lagi. Semua diangkat dari standar moral masyarakat tertentu yang akhirnya terglobalisasi. Para pakar lalu mengujinya dan menemukan kelainan hormon, pengaruh psikologis, kelainan jumlah sel pada hypothalamus (dimana sel sarafnya yang mengeluarkan GnRH –gonadotropin releasing hormone berhubungan dengan system limbic. Bagian yang sebagian besar terlibat dalam pengendalian emosi dan aktifitas seksual).

Dapat anda bayangkan satu desa atau kota metropolis di jaman heubeul, seluruh masyarakat di dalamnya dianggap kelainan seks oleh masyarakat lain. Terus terang dari sekian banyak, mayoritas saya pun tak menyetujuinya, terutama sexual abuse terhadap anak di bawah umur dan siapa saja, sampai ke binatang sekalipun. Namun untuk sebagian lagi yang tidak merugikan secara fisik dan mental terhadap lawan jenisnya, setelah kita tahu standar kelainan seks itu nisbi apakah mereka pantas di sebut kelainan seks?

Sekarang ambil contoh kaum homoseksual atau gay, atau seorang fetish bulu ayam (kalau ga mampu beli syal bulu mungkin dia pake kemoceng), jika mereka tak menggoda kalian frontal maupun tidak. Mampukah kalian menganggap mereka lain, aneeeeh, atau menjijikan, patut dikasihani, patut bertobat, bla bla bla… Jika mereka hidup damai dan tenteram bersanding dengan kalian, perlukah ia disembuhkan ke psikiater atau dokter? Bayangkan anda lahir lagi seperti seorang bayi yang belum ada dogma dan doktrinasi moral apapun, lalu anda dibesarkan di sekeliling mereka. Apakah mereka kelainan seks menurut andA. Ya, ya.. bahasan ini pasti jadi berat, banyak yang kontra dan pro. Sama seperti teman bloon saya yang agak fanatik ketika
sedang mabuk mengajak kami semua yang saling berbeda agama untuk mendiskusikan perbedaan tersebut. Tahukah kalau sejak jaman Socrates sampe Aa Gym, gak ada matinya mendiskusikan suatu perbedaan prinsip keyakinan yang kalian pegang teguh masing-masing?! Akhirnya berakhir dengan perdebatan atau kalau tidak, lu, elu sendiri, gua, ya gua sendiri. Betulkan?

So, the moral of this story, mo kelaenan kek, mau punya to*** tiga kek, tarik nafas dalam-dalam, tutup mata, hening sebentar, buka otak lebarlebar, and think again.

2 comments:

Hidayatullah said...

salut!! tulisan ini bisa dipakai bahan penelitian nih. semoga kelainan seksual tidak menyebar di Indonesia. (haha, nggak mungkiiiiiiiiiiiiiiin..)

Pradipta Nugrahanto said...

Makasih udah main main ke sini yaa...Muchacos Gracias