Monday, October 31, 2011

#Dia dan Do'a



Lubang di jalanan lurus yang licin kerap membuat orang terpeleset. Srooot...sakit lah. Tak kalah rasanya dengan saya yang ski di trotoar atau carport depan kos akibat sendal tak bergerigi tetap dipaksa mengalas kaki.

Lagi-lagi jalanan makan korban. Orang kesayangan si pengukur jalan harus menelan ludah akibat kesalahan memilih jalan. Saat jatuh, tak tertangkap lagi dan tentunya biru sudah bekasnya.

Lama #dia harus tidur berbalut kalut. Semakin mencoba berlari namun ada yang tercerabut. Begitulah setidaknya yang kutangkap. Jauh sakit, mencoba mendekat takut terjerat.

Tak hanya lebam-lebam yang harus ditanggungnya. Pisau yang ditikamkan kepadaku oleh bayangan masa lalu ternyata tembus ke #dia. Alhasil luka yang dirasanya menjadi semakin perih.

Aku tak kuasa lagi menahan tikaman-tikaman dari belakang itu. Bagaimana tidak, lebih baik dihantam bertubi-tubi daripada harus ditusbol, eh ditusuk dari belakang.

Ibarat belajar berseluncur dan saat sudah mulai meluncur dan tiba-tiba didorong orang dari belakang dan terjerembab. Mau bangun saja susah. Dan akhirnya, hanya menatap yang menjatuhkan dengan tatapan nanar.

Tak sadar bila yang kulakukan malah semakin memperlebar luka, aku lupa. Obat luka bukan kembali dijerembabkan ke lubang yang lebih dalam. Tapi diam dan niscaya pisau akan menghujam musuh tanpa perlu tatapan tajam.

Sembari masih bergulingan di arena seluncur yang mendadak berubah menjadi ring tinju dengan kepala belakang bonyok, aku berdiri perlahan. Merintih dan mencoba duduk seraya mencoba tersenyum agar tak ada yang tahu aku sedang luka.

#Dia mencoba berbagai cara, dari mencoba duduk bersama namun ternyata tak cukup mengobati luka. Saat belum kering, dan tak sengaja tergores, lagi-lagi semua menjadi dingin es. Aku yang baru berhasil berdiri mendadak lemas ibarat makhluk kurang vitamin.

Keringat dingin menjadi teman kala terbangun di pagi buta. Berharap-harap cemas akan ada suatu titik dimana semua bisa kembali dan bukan sekedar mimpi. Mungkinkah, ditengah jalanan yang dilalui #dia dengan banyak cabang?

Apakah aku harus berlari? Sungguh, ini bukan solusi pengisi hari. Entah kenapa, meski harus berjalan terpincang-pincang masih ada keyakinan bila suatu hari bisa berjalan lurus lagi.

Braaak, vas bunga berlapis emas di bagian dalam yang sempat berkeping-keping kurekatkan kembali.Pelan dan harus penuh kesabaran. Menyatukan belahan memang tidak mudah, namun kuyakin semua akan lebih indah.

*Setidaknya aku kini bisa merasakan sebuah harapan akan mimpi indah. Mimpi boleh gratis, tapi harus ada pelatuk yang menarik agar bisa terlontar ke sana. Agar tidur tak lagi menyeramkan. (Dan itu #dia). Satu yang tak boleh kulupa, do'a untuk #dia dan (kita)*

Tuesday, October 25, 2011

Ketika Mengingat Setelah Hidup

Pekerjaanku masih menanti, hati sedang tak terkendali, jemari sibuk menari-nari
Pikiran berlari, tak peduli rasa sakit terus menggerogoti
Tak mau kumembuat ada yang terbebani

Semua harus tahu bila aku baik-baik saja
Senyumku harus tetap mengembang meski saluran tak lagi berfungsi mulus
Ketika kuning cerah cerah berubah bercampur darah

Bila tiba waktunya nanti
Sewaktu lidah tak lagi mampu merasa
Mata tak lagi mampu memilah warna
dan pikiran tak lagi bisa menganalisa

Pasukan hitam hitam datang
Menghantarkan ke titik penuh intrik
Apakah itu lebih pelik?

Masihkah akan ada rasa?
Meski diri divonis dengan sinis
Tiketmu sudah out of date...

*Sebuah ode pengingat bila kita akan tersengat lalu menjadi penghuni liang lahat*

Sunday, October 23, 2011

Soonday Lovely (S.U.N.D.A.Y)



It's Sunday and Soonday...
Tik tik tik tik jemari kembali beradu di atas tuts. Sudah seminggu tak membersihkan kapal tempur yang mulai berdebu. Srot,srot sroooot *apaaan sih*

Berawal dari berangkat pagi ke Utara ibukocrit bersama sang belahan jiwa. Begitu segar padahal semalaman juga baru merampungkan beberapa lembaran halaman. Kali ini kami pergi tanpa dihujani sahut-sahutan klakson dan tak ada hadiah jalanan macet yang membuat hari-hari semakin mendebarkan.

Meski sudah beberapa kali liputan di mallnya Indonesia itu (translasi mentah-mentah seorang sarjana sastra yang ugal-ugalan), tetep aja pake nyasar-nyasar. Tapi akhirnya ketemu juga sih tempat yang dituju.

Sembari menyantap roti itali yang dikemas dengan Indonesia banget (saya yakin kalau yang versi original gak bakal kayak gini rasanya) saya memandangi keluarga metal muda di hadapan saya. Ya mereka teman-teman juga sih..teman jauh yang sekarang jadi dekat hihi.

Ya saya dan pasangan sangat mengapresiasi keluarga muda ini. Talented husband and wife with little rockin kid dah. Seharian kami habiskan dengan makan, ngopi sambil mengasuh buah hati keluarga muda yang luar biasa.

Pertemuan yang rasanya singkat hari ini. Ditutup dengan pembicaraan untuk membuat 'sesuatu'. Really kali ini bukan kata-katanya neng Syahrono ya..tapi tunggu saja, bukan semangat muda namanya kalau tidak penuh ide haha.

Perjalanan saya dan pasangan masih belum berakhir pasca family day dadakan yang super menyenangkan tadi. Disambung dengan belanja yang luar biasa. Maklum begitu banyak listnya sih...dan memang sudah diimpi-impikan dia dari seminggu yang lalu.

Dan entah kenapa, belanjaannya kali ini terasa berbeda. Bukan kuantitasnya ya. Tapi isinya...lebih...ah lebih...ahhhhhhh...saya kehilangan kuasa ketika berbagai rasa membuat jemari terpaku kaku.

Sungguh suatu keajaiban. Akhir pekan yang sangat menyenangkan dan tak ingin
hari ini berlalu. Seandainya saja baterai jam dicopot dan waktu tak bergulir...*aish, jadi curcol*

Sunday, October 16, 2011

Kicau Hijau di Jumat Petang


A Memory for 14th of October 2011-Friday Afternoon 17.38

Entah kenapa tangan saya basah sampai membutuhkan berlembar-lembar tissue untuk menulis tentang hal yang satu ini. Berdebar-debar tak seperti biasanya ketika saya menggoreskan seutas kata di kertas digital di layar 24 inci yang setia menemani saya bersama 'pena dan tinta' [baca Key dan Mouse kesayangan].

Ini bukan sekedar kisah saya, tapi juga pasangan [hidup] saya dan perjalanan panjang akan sebuah pencarian. Sementara bagi dia, ini adalah sebuah memori mengenang perubahan yang besar. Sebelum saya semakin meracau tak terarah, tirai dibuka, penonton masuk dan sayapun akan mendongeng *loh.

Suatu siang yang panas dan sambil bermandi keringat setelah berlarian naik turun empat lantai ponsel usang saya berdering. SMS! Dan isi pesan singkat 160 karakter itu adalah..."Ai..apakah kamu berharap aku pake jilbab dalam waktu dekat?," katanya di seberang sana.

Sontak aku terpaku. Bingung mau menjawab apa. Aku menebak-nebak, apakah ini lagi-lagi berkaitan dengan masa laluku yang dia ingin tahu sementara aku sendiri sudah menguburnya? Lalu kujawab dengan diplomatis "Aku enggak akan memaksa kamu,". Walau jawabannya sedikit enggak nyambung dengan pertanyaannya. Dia kembali bertanya "Tapi berharap?". Jemariku bergetar, tuts keyboardku yang biasanya sangat empuk menjadi seolah sekeras batu dan akhirnya dia berujar "Kalau niatku jelas ada. Bahkan aku pernah setahun pake waktu masih di Bali. Kecuali di kantor," katanya di jendela instant messenger.

Aku kembali diam, keyboardku masih beku. Lagi-lagi dia menyahut seolah tidak memberiku jeda untuk menanggapi cerita panjangnya. "Aku belom bisa janji kapan, doain aja ya,"sambungnya lagi. Entah kenapa aku hanya membalasnya dengan tanda :) [smile emoticon] yang notabene punya jutaan arti.

Obrolan terhenti sejenak karena kami sibuk dengan aktivitas harian kehidupan urban. Namun pikiran itu masih menggelayuti. Entah kenapa, aku membuka kembali email-email lama ketika kami pertama berbincang. Dan, oh my Gosh! Foto diri pertamanya yang dikirim ke emailku adalah fotonya yang berhijab [meskipun baru coba-coba]. Kaget! dan foto itu tidak dipublishnya di jejaring sosial manapun. Anehnya di tengah koneksi internet yang naik turun menjelang hari raya, pada saat membuka foto itu mendadak koneksi lancar bak jalan tol.

Hanya beberapa hari setelahnya, Irene menunjukkan hoodie, jilbab, rok panjang dan ciputnya. Aku bertanya setengah memastikan "Bisa lah, dulu aku setiap hari pakai ini," katanya. "Mau liat?" sambungnya setengah ketus. Tiba-tiba dia memakai jilbabnya, "Sayang gak ada peniti. Jadinya gak rapih," katanya.

Hari besoknya, tiba-tiba ia kembali berkata di instant messenger "Apa kamu mau kalau aku pergi pakai baju tertutup?" katanya. Aku lagi-lagi hanya menjawab dengan emoticon :) "Nanti aku beli dulu kerudung-kerudung polos biar bisa dipake setiap pergi," katanya.

Sehari berselang, kami pergi ke salah satu pusat perbelanjaan yang [nyaris] bangkrut di ibukota. Lalu aku iseng bertanya "Jadi nyari hoodie?" Dia hanya diam. "Nggak jadi yaa" kataku. "Jadi kok, nanti aku cari sendiri aja," katanya.

Besoknya, badai menyambarku. Rasa sakit ketika buang air kecil selama empat bulan membuat aku menyerah dan akhirnya membuat Irene harus rela berjibaku dengan macetnya jalan sampai akhirnya mengantarkan aku ke rumah sakit dengan diagnosa adanya pasir di ginjalku.

Dua hari bedrest, aku mulai jenuh dan menguatkan diri untuk mampir ke supermarket dekat tempat Irene tinggal. Aku melirik deretan jilbab dan pernak-perniknya. "Ah hijau, pasti cocok sama hoodienya," gumamku. Tanpa berpikir panjang aku langsung membelinya, plus sebungkus peniti dan ikat rambut. Tentunya tak lupa minta dibungkus kertas kado berwarna hijau kesukaan kami.

Sorenya, tentu Irene kaget tiba-tiba ada kado dengan bungkusan hijau. Aku berdebar, takut dia tersinggung kenapa mendadak aku membelikannya jilbab. Tapi ternyata tidak "Besok aku pake yah," jawabnya santai.

Jumat pagi, Irene masih berbusana khasnya setiap berangkat ke kantor. Namun tiba-tiba dia SMS. "Nanti bawain rok panjang item, hoodie ijo, baju item sama kerudung dan dalemannya ke kantor ya. Aku mau ganti di kantor," katanya.

Akhirnya matahari Jumat sore nyaris tenggelam dan aku menghampiri kantor Irene sebelum masa mendebarkan session 2 di RS untuk cek hasil lab [yang ternyata negatif]. Namun kejutan hari itu adalah Irene keluar kantor dengan jilbab lengkap.

Malu-malu, canggung atau apapun aku yakin pasti menghinggapi hatinya. Di tengah jalan Irene nyeletuk "Aku malu, rasanya kurang pantes aja," katanya. Namun suatu hal yang tak diduga, ia nampak seperti sudah biasa tampil dengan busana serba tertutup seperti itu. Kami sempat mampir makan di resto fast food tak jauh dari RS. Ada yang beda darinya. Kenapa ia menjadi jauh lebih lembut. "Kok jadi lebih kalem?" tanyaku "Efek psikologis," jawabnya.

Setelah mengabadikan foto kami berdua, mampirlah kami ke tempat Salon ketika dulu Irene harus menyewa kebaya untuk urusan kantor. Kami berbincang cukup lama mengenai 'kelebihan' yang ada dalam diri manusia. Termasuk kami bertiga. Namun satu kata yang terkenang sebelum pulang darinya untuk Irene adalah "Cantik, mukanya bercahaya seperti bulan," katanya.

Entah kenapa, sepanjang perjalanan pulang aku melihat muka Irene seolah mengeluarkan cahaya. Ia hanya berujar "Kalau sering disiram air wudhu dulu juga suka begini," DEG! Aku hanya diam menanggapi ucapannya.

Sabtu kemarin Irene memposting semua foto-foto berjilbabnya ke situs pertemanan terpopuler saat ini. Tidak ada tanggapan yang buruk. Semuanya baik, terlebih dari sahabat-sahabatnya yang begitu mendukungnya. Lalu di tengah perbincangan via instant messenger dia bilang "I will wear scarf for good," Aku yang sedikit kebingungan memintanya untuk menuliskan dalam deretan kata yang lebih simple. "Aku akan memakainya selamanya," katanya.

Sabtu malam aku membelikannya sehelai kerudung putih dan beberapa manset [karena stok baju panjangnya masih terbatas] dan mengantarkannya ke kantor untuk dipakainya sebelum pulang. Entah kenapa, begitu berdebar saat memberikannya. Terlebih saat melihat ia memakainya. Dan sore itu Irene mengirim SMS "Aku akan memakai hijab terus, mulai sore ini hingga besok dan besok dan besok," katanya.

Pagi tadi, sebelum berangkat Irene sempat ragu untuk memakai hijab ke kantornya. Namun keyakinan dalam hatinya sudah tak tergoyahkan lagi. Untuk pertama kalinya Irene memakai hijab lengkap ke kantornya. Dengan resiko terburuk DILARANG dan ia harus angkat kaki dan kehilangan pekerjaan.

Namun ia tidak gentar. Tetap masuk kantor dan tak beberapa lama berselang Irene mengirim pesan singkat "Alhamdulillah. Tadinya sempat dilirik aneh. Tapi sesudahnya boss bilang "So this is the new you? and Hello, sambil senyum," katanya. Lalu terakhir di jendela IM ia berkata "Tadi Boss ngelihat aku lagi, dan gak keberatan, Subhanallah,".

Perbincangan-perbincangan kami di instant messenger seputar penampilan barunya, perubahan besarnya hari ini terus berlanjut hingga detik ini saya menuliskan kalimat akhir untuk cerita ini yang juga merupakan quote dari pasangan hidupku.

"Aku tidak menunggu rajin shalat untuk menutup auratku. Tapi hijabku yang menuntunku untuk tak lagi meninggalkan lima waktu dan selalu mengingatNya," -Irene Bernadette- (Muallaf sejak 2009, hijrah sejak menemukan kedamaian ketika mendengar gema adzan, terenyuh ketika mendengar alunan ayat suci Al-Quran dan melihat jamaah muslim shalat. Penggemar musik-musik cadas, penyuka makanan manis, penulis [untuk beberapa celah dunia maya yang patut direcoki dan blog pribadi] dan bekerja untuk tujuan kemanusiaan)

Friday, October 14, 2011

[Kembali] Diingatkan


Saya seorang yang kerap lupa. Terlebih kalau sudah 'tenggelam' dalam suatu rutinitas yang tak jarang hanya menjadi alasan untuk tidak mengingat bila banyak hal yang menjadi sering terlupakan.

Beberapa hari lalu saya diterjang badai [sakit-red] sampai harus dibawa ke tempat yang paling tidak saya sukai. Beberapa hari hanya berhadapan dengan kasur dan saya begitu bersyukur karena pasangan jiwa menyelamatkan saya dari kebosanan akut pasca divonis harus istirahat.

Lupa akan saya manusia biasa yang bukan highlander. Badan terlalu ringkih bak gelas kaca murahan yang sekali sentil langsung pecah. Namun rasa tidak peduli membuat saya seolah ksatria urat baja yang siap menerjang badai.

Sore tadi hasil lab terakhir keluar. Semesta mengirim pesan bila saya sudah terlalu lelah berpadu dengan konsumsi aneka zat yang jauh dari kata sehat. Beruntunglah saya masih diberi kesempatan untuk tidak harus merasakan [sakit] yang lebih dair rasa saat ini.

Satu hal yang mungkin saya juga lupa. Boss of The Universe. Ya, betapa saya terkadang lupa akan berbagai nikmatnya. Dan boleh jadi, saya kurang bersykur atas segala yang diberikanNya.

Terkadang saya menganggapnya sebagai 'bel' sebelum pergantian usia. Ya, bulan depan jatah hidup saya akan kembali berkurang. Sedih, karena banyak hal belum berhasil saya bawa ke titik maksimal.

Lagi-lagi saya diingatkan, bila kini saya memiliki pasangan hidup. Dia luar biasa. Semangatnya, keyakinannya dan banyak hal lainnya membuatku banyak berkaca darinya. Sungguh suatu kenikmatan yang tak terbayar dan tak tergantikan setelah sebelumnya selalu berbuah kemuakan-kemuakan.

Hari ini satu jawaban dari sepenggal harapan masa lalu kembali terungkap. Terimakasih untuk *dia* dan Boss of The Universe yang telah banyak mengingatkan saya.

Thursday, October 13, 2011

Melawan (Rasa) Takut



Sudah empat bulan rasa sakit itu menghinggapi. Namun tidak terlalu kupedulikan. Pertama takut, kedua memeriksakan kesehatan di negeri antah berantah ini sama saja dengan menguras isi kocek yang selalu kembang kempis.

Hingga hari itu, aku merasa tak kuasa lagi menahan sakitnya, alhasil aku menyerah dan berkata pada pasangan hidupku bila aku memang sedang didera kondisi yang paling tidak menyenangkan dalam hidup. Namun dia tetap membesarkan hati, dan melawan rasa takut yang selama ini menyelimuti.

Dengan penuh kesabaran, dia menembus jalanan yang kian hari kian nampak bak setan di musim hujan. Tak ingat lagi makan meski perut keroncongan dan pusing yang melanda akibat segudang kerjaan. Yang dia lakukan hanyalah secepat-cepatnya memacu kendaraan agar bisa membawaku cepat sampai rumah sakit tujuan.

Perjalanan yang penuh kepadatan manusia-manusia urban yang ingin segera sampai ke hunian membuatku tak tega melihatnya berjibaku dengan situasi penuh tekanan yang membuatnya semakin penat. Namun aku begitu yakin, dia tak tega membuatku harus menahan sakit lebih lama lagi.

Sampai di rumah sakit, ketakutanku semakin menjadi. Masalahnya rumah sakit di negeri ini tidak sesuai dengan asal katanya (berkali-kali aku menggerutu) dan dia selalu menjawab dengan tenang (ya sudah mau gimana lagi) *toh yang penting bisa ketahuan sakitnya*

Perasaan semakin tak karuan ketika berbincang dengan dokter. Apakah ini yang disebut pelayanan publik? Hingga ketika sekedar menanyakan jadwal prakteknya saja harus membaca sendiri? Plus bagian pembayaran yang tak kalah 'ramahnya'.

Akhirnya tiba giliran pengambilan darah malam itu. Aku memintany untuk tetap menemani. Alasannya? Takut (lagi) setelah sekian lama tidk berhadapan dengan benda bernama jarum suntik, dan dia tersenyum simpul seolah adalah hal yang memalukan bila aku menjerit (dan untungnya tidak).

Ia rela meninggalkan aktivitas mengepulkan dapur demi memastikan aku baik-baik saja. Seems like sense of mothercare. Rasa takutku berangsur berkurang. Setidaknya aku menghadapi semuanya tidak sendiri. Tapi bersamamu. Seperti yang pernah kutulis sebelumnya, ia benar-benar luar biasa.

Monday, October 3, 2011

Ragu Menyerbu Raga, Ingatlah Rasa dan Asa



Rasa ragu menghinggapi? Rasanya adalah suatu hal yang sangat-sangat wajar. Terkadang bercampur dengan rasa takut disusul keringat dingin dan alhasil pikiran menjadi tak karuan.

Sudah kesekian kali saya dihinggapi rasa ragu bercampur takut. Dari jaman belajar naik sepeda (dan berujung jatuh dengan sukses plus luka-luka yang bekasnya tak bisa hilang), disambung tes loncat indah (yang alhasil baru berhasil loncat setelah didorong orang). Sampai terpeleset dengan sukses dari motor (entah berapa kali) dan sempat banyak ragu-ragu lagi lainnya.

Tak hanya di aktivitas motorik, saya juga sempat ragu dengan kemampuan saya meramu kata. 10 tahun lalu ketika aktivitas menulis masih saya tampik dan tidak terpikir untuk menjadikannya jalan hidup. Berbagai pendapat terlintas di pikiran bawah sadar saya. Pujian dari orang-orang di sekitar hanya menjadi angin lalu dan saya masih merasa 'ini bukan jalur saya'. Dengan berbagai pembenaran-pembenaran lain.

Imajinasi masa lalu saya adalah membuat rilisan musik atau visual. Bukan rangkaian kata. Sehingga ketika buku pertama saya selesai, rasa ragu kembali menghampiri saya. Apakah saya cukup qualified untuk membuat suatu rilisan (dalam bentuk tulisan)?

Keraguan bisa jadi muncul dari rasa anti atau enggan. Saya sempat memandang anak kecil sebagai tayangan horror. Segenap keraguan muncul ketika order membuat buku untuk anak menghampiri. Yang saya lakukan hanya satu. Dulu saya pernah menjadi anak-anak dan mengingat-ingat rasa di masa masih tidak berpikir bahwa hidup akan dihadapkan dengan banyak masalah dan menulislah saya (dengan sepersekian persen rasa keraguan bila hasilnya akan layak diapresiasi anak dan orang tua yang membacanya)

Namun keraguan yang bercampur rasa takut itu malah menghantarkan saya ke dunia lautan kata, sumur halaman yang tak pernah berhenti pasokannya. Perlahan rasa ragu itu pudar dan berganti menjadi rasa senang bercampur bangga.

Saya akhirnya duduk, sendiri mencoba meretas pikiran akan asal dari sebuah keraguan. Apakah kejadian di masa lalu? Ketakutan akan kegagalan (terlebih jatuh yang menyakitkan)? Saya merebahkan badan, menatap ketinggian yang sempat membuat ragu bila saya mampu melewatinya di masa lalu. Menatap halaman-halaman yang telah terjild dengan rapi dan akhirnya meminta petunjuk-Nya. Akhirnya sebuah keyakinan menyeruak, menghapus keraguan dan menuntun saya untuk tidak ragu apalagi takut.

Sebulan lebih ini, ada sosok yang membuat saya kian mampu menghapus rasa ragu dan tak lagi takut tersungkur. Cambukannya, ketegasannya dan sikapnya yang selalu menolak untuk mengucapkan kata BISA ibarat penghapus permanen dari sebuah kata ragu. Bercampur rasa, saatnya meraih asa dengan langkah berbarengan.

Menyentil Kutil



Tak perlu repot membuat video jedag jedug pantura untuk menaikkan pamor dan sukses menjadi bahan pembicaraan banyak mulut. Cukup dengan memiliki kutil saya yakin, perbincangan akan mulai menyeruak. Dari yang sekedar memandang sekilas, melihat sinis ataupun berkomentar sarkastis.

Ah, bagaimana bisa? Bukankah kutil 'hanya' serupa bisul di tangan, kaki, ketiak, selangkangan atau bagian-bagian lainnya? Oh tidak, dari kacamata saya yang min dan pasangan saya yang plus, kutil memiliki makna yang jauh lebih luas dari sekedar benjolan sebesar biji jagung.

Namanya kutil adalah penyakit. Tidak ada penyakit yang tidak mengganggu. Jelas, tidak akan sembuh begitu saja bila didiamkan. Untuk urusan yang satu ini, tak jarang bahkan harus sampai dioperasi dalam waktu yang super lama. Rasanya masih membekas di ingatan soal manusia kutil (dan saya berkali-kali liputan, mengambil gambar dan mengajak si manusia kutil berbincang untuk kebutuhan pemberitaan sambil menahan berbagai rasa yang menyeruak di kepala).

Sayangnya, mereka yang kulitnya mulus bak jalanan Jakarta yang ditinggal pendatang menjelang dan beberapa hari pasca Lebaran juga tanpa disadari memiliki kutil. Oh, bahkan pakar kesehatan kulit kenamaan pun tak akan mampu mengobatinya. HAH?

Saya cukup yakin bila kacamata saya selalu dilap setiap sudah mulai sedikit kotor. Begitupula dengan pasangan. Meski kadang kami masih suka menyisakan debu-debu di pojokan ruangan, selalu ada waktu untuk menyeka kacamata agar tak salah lihat.

Kutil-kutil dalam kacamata kami jelas tidak terlihat dengan mata telanjang. Semangat perlawanan adalah keyakinan yang membuat deretan kutil bisa terlihat hampir setiap kaki berpijak. Tak peduli muka tertutup topeng sekalipun, tetap akan menyembul dan membuat jemari gatal untuk tak menyentilnya.

Kenapa hanya menyentil? Rasanya tak perlu mengepalkan tinju untuk sekedar mem
bersihkan kutil. Bukankah sentilan pun bisa mengeluarkan efek rasa perih dan sakit yang luar biasa? Lagipula, menyentil bisa dari jarak jauh (dengan menggunakan karet) dengan objek yang acak. Masalah reaksinya? Toh yang terkena juga hanya tersentil.

Berkutil boleh jadi 'hanya' masalah kecil. Namun bila tersentil dan perih, tutupi dengan tisu basah (yang pastinya beralkohol dan akan menyembuhkan luka). Tak perlu pula merasa terusik dengan penyentil. Atau kecuali masih ababil?

Yah, selama kacamata kami masih (dan akan selalu) bersih, rasanya tidak ada alasan untuk berhenti menyentil kutil.

*Gambar sengaja diganti dengan model bangunan agar tidak merusak selera makan dan numpang izin pada pemilik foto asli

Sunday, October 2, 2011

Solar Lunar Blar!



Ini bukan ulasan 'Men from Venus' and 'Women from Mars'. Kalau itu sih silahkan baca bukunya yang sudah berserakan di toko-toko buku terdekat. Lagian penulis ugal-ugalan seperti saya terlalu nista untuk menulis hal yang 'seserius' itu. Oh yes? *apasih*

Saya percaya akan sebuah koneksi pikiran yang berawal dari harapan atau (mungkin) angan-angan. Istilah kerennya sih katanya 'transfer pikiran' atau apalah yang sama sekali saya kadang sulit mencerna seperti pencernaan saya yang kerap gangguan ketika banyak pikiran.

Tapi tentunya enggak sembarangan sih (lagi-lagi ini hanya opini dangkal saya, maklum bila ada analogi Sempit tapi Dalam ataupun Dangkal tapi luas maka saya akan dengan senang hati memilih Dangkal tapi luas saja). Maksudnya enggak sembarangan tentu jalur pikiran yang bisa terkoneksi itu gak sembarangan bisa langsung terkoneksi antara si A dan si B yang sama-sama enggak kenal.

Untuk bisa melakukan itu, harus ada 'aliran' energi dari hati. Namun lagi-lagi bukan sekedar hubungan yang bisa membuat ini berjalan mulus.Yang mentransfer dan yang ditransfer harus berada dalam satu 'jalur' yang sama. Kutubnya boleh beda, karena jadinya akan tarik menarik.

Semua bisa berawal dari hal-hal sederhana. Mulai dari ketika rasa lapar menghinggapi dan terbayang ingin makan makanan X maka ketika pikiran itu bersatu dengan yang menerima pikiran di jalur yang sama maka akan ada pertemuan di satu titik meski tengah tak berdekatan.

Tentu nantinya berpotensi berlanjut ke proses transfer yang lebih kompleks. Seperti misalnya rasa yang jangan diacuhkan. Kalau hal-hal semacam ini dilawan, bisa jadi akan berantakan. Saya sudah pernah (bahkan belum lama ini) mengalami kondisi demikian.

Kalau ditarik lebih jauh lagi, mungkin ada hubungannya dengan Solar (tentunya bukan bahan bakar) dan Lunar. Dua kekuatan siang dan malam ini juga ada di diri pria dan wanita. Tak percaya, saya coba transfer lagi dan nantikan jawabannya 99.99% akan sama!