Sunday, October 16, 2011

Kicau Hijau di Jumat Petang


A Memory for 14th of October 2011-Friday Afternoon 17.38

Entah kenapa tangan saya basah sampai membutuhkan berlembar-lembar tissue untuk menulis tentang hal yang satu ini. Berdebar-debar tak seperti biasanya ketika saya menggoreskan seutas kata di kertas digital di layar 24 inci yang setia menemani saya bersama 'pena dan tinta' [baca Key dan Mouse kesayangan].

Ini bukan sekedar kisah saya, tapi juga pasangan [hidup] saya dan perjalanan panjang akan sebuah pencarian. Sementara bagi dia, ini adalah sebuah memori mengenang perubahan yang besar. Sebelum saya semakin meracau tak terarah, tirai dibuka, penonton masuk dan sayapun akan mendongeng *loh.

Suatu siang yang panas dan sambil bermandi keringat setelah berlarian naik turun empat lantai ponsel usang saya berdering. SMS! Dan isi pesan singkat 160 karakter itu adalah..."Ai..apakah kamu berharap aku pake jilbab dalam waktu dekat?," katanya di seberang sana.

Sontak aku terpaku. Bingung mau menjawab apa. Aku menebak-nebak, apakah ini lagi-lagi berkaitan dengan masa laluku yang dia ingin tahu sementara aku sendiri sudah menguburnya? Lalu kujawab dengan diplomatis "Aku enggak akan memaksa kamu,". Walau jawabannya sedikit enggak nyambung dengan pertanyaannya. Dia kembali bertanya "Tapi berharap?". Jemariku bergetar, tuts keyboardku yang biasanya sangat empuk menjadi seolah sekeras batu dan akhirnya dia berujar "Kalau niatku jelas ada. Bahkan aku pernah setahun pake waktu masih di Bali. Kecuali di kantor," katanya di jendela instant messenger.

Aku kembali diam, keyboardku masih beku. Lagi-lagi dia menyahut seolah tidak memberiku jeda untuk menanggapi cerita panjangnya. "Aku belom bisa janji kapan, doain aja ya,"sambungnya lagi. Entah kenapa aku hanya membalasnya dengan tanda :) [smile emoticon] yang notabene punya jutaan arti.

Obrolan terhenti sejenak karena kami sibuk dengan aktivitas harian kehidupan urban. Namun pikiran itu masih menggelayuti. Entah kenapa, aku membuka kembali email-email lama ketika kami pertama berbincang. Dan, oh my Gosh! Foto diri pertamanya yang dikirim ke emailku adalah fotonya yang berhijab [meskipun baru coba-coba]. Kaget! dan foto itu tidak dipublishnya di jejaring sosial manapun. Anehnya di tengah koneksi internet yang naik turun menjelang hari raya, pada saat membuka foto itu mendadak koneksi lancar bak jalan tol.

Hanya beberapa hari setelahnya, Irene menunjukkan hoodie, jilbab, rok panjang dan ciputnya. Aku bertanya setengah memastikan "Bisa lah, dulu aku setiap hari pakai ini," katanya. "Mau liat?" sambungnya setengah ketus. Tiba-tiba dia memakai jilbabnya, "Sayang gak ada peniti. Jadinya gak rapih," katanya.

Hari besoknya, tiba-tiba ia kembali berkata di instant messenger "Apa kamu mau kalau aku pergi pakai baju tertutup?" katanya. Aku lagi-lagi hanya menjawab dengan emoticon :) "Nanti aku beli dulu kerudung-kerudung polos biar bisa dipake setiap pergi," katanya.

Sehari berselang, kami pergi ke salah satu pusat perbelanjaan yang [nyaris] bangkrut di ibukota. Lalu aku iseng bertanya "Jadi nyari hoodie?" Dia hanya diam. "Nggak jadi yaa" kataku. "Jadi kok, nanti aku cari sendiri aja," katanya.

Besoknya, badai menyambarku. Rasa sakit ketika buang air kecil selama empat bulan membuat aku menyerah dan akhirnya membuat Irene harus rela berjibaku dengan macetnya jalan sampai akhirnya mengantarkan aku ke rumah sakit dengan diagnosa adanya pasir di ginjalku.

Dua hari bedrest, aku mulai jenuh dan menguatkan diri untuk mampir ke supermarket dekat tempat Irene tinggal. Aku melirik deretan jilbab dan pernak-perniknya. "Ah hijau, pasti cocok sama hoodienya," gumamku. Tanpa berpikir panjang aku langsung membelinya, plus sebungkus peniti dan ikat rambut. Tentunya tak lupa minta dibungkus kertas kado berwarna hijau kesukaan kami.

Sorenya, tentu Irene kaget tiba-tiba ada kado dengan bungkusan hijau. Aku berdebar, takut dia tersinggung kenapa mendadak aku membelikannya jilbab. Tapi ternyata tidak "Besok aku pake yah," jawabnya santai.

Jumat pagi, Irene masih berbusana khasnya setiap berangkat ke kantor. Namun tiba-tiba dia SMS. "Nanti bawain rok panjang item, hoodie ijo, baju item sama kerudung dan dalemannya ke kantor ya. Aku mau ganti di kantor," katanya.

Akhirnya matahari Jumat sore nyaris tenggelam dan aku menghampiri kantor Irene sebelum masa mendebarkan session 2 di RS untuk cek hasil lab [yang ternyata negatif]. Namun kejutan hari itu adalah Irene keluar kantor dengan jilbab lengkap.

Malu-malu, canggung atau apapun aku yakin pasti menghinggapi hatinya. Di tengah jalan Irene nyeletuk "Aku malu, rasanya kurang pantes aja," katanya. Namun suatu hal yang tak diduga, ia nampak seperti sudah biasa tampil dengan busana serba tertutup seperti itu. Kami sempat mampir makan di resto fast food tak jauh dari RS. Ada yang beda darinya. Kenapa ia menjadi jauh lebih lembut. "Kok jadi lebih kalem?" tanyaku "Efek psikologis," jawabnya.

Setelah mengabadikan foto kami berdua, mampirlah kami ke tempat Salon ketika dulu Irene harus menyewa kebaya untuk urusan kantor. Kami berbincang cukup lama mengenai 'kelebihan' yang ada dalam diri manusia. Termasuk kami bertiga. Namun satu kata yang terkenang sebelum pulang darinya untuk Irene adalah "Cantik, mukanya bercahaya seperti bulan," katanya.

Entah kenapa, sepanjang perjalanan pulang aku melihat muka Irene seolah mengeluarkan cahaya. Ia hanya berujar "Kalau sering disiram air wudhu dulu juga suka begini," DEG! Aku hanya diam menanggapi ucapannya.

Sabtu kemarin Irene memposting semua foto-foto berjilbabnya ke situs pertemanan terpopuler saat ini. Tidak ada tanggapan yang buruk. Semuanya baik, terlebih dari sahabat-sahabatnya yang begitu mendukungnya. Lalu di tengah perbincangan via instant messenger dia bilang "I will wear scarf for good," Aku yang sedikit kebingungan memintanya untuk menuliskan dalam deretan kata yang lebih simple. "Aku akan memakainya selamanya," katanya.

Sabtu malam aku membelikannya sehelai kerudung putih dan beberapa manset [karena stok baju panjangnya masih terbatas] dan mengantarkannya ke kantor untuk dipakainya sebelum pulang. Entah kenapa, begitu berdebar saat memberikannya. Terlebih saat melihat ia memakainya. Dan sore itu Irene mengirim SMS "Aku akan memakai hijab terus, mulai sore ini hingga besok dan besok dan besok," katanya.

Pagi tadi, sebelum berangkat Irene sempat ragu untuk memakai hijab ke kantornya. Namun keyakinan dalam hatinya sudah tak tergoyahkan lagi. Untuk pertama kalinya Irene memakai hijab lengkap ke kantornya. Dengan resiko terburuk DILARANG dan ia harus angkat kaki dan kehilangan pekerjaan.

Namun ia tidak gentar. Tetap masuk kantor dan tak beberapa lama berselang Irene mengirim pesan singkat "Alhamdulillah. Tadinya sempat dilirik aneh. Tapi sesudahnya boss bilang "So this is the new you? and Hello, sambil senyum," katanya. Lalu terakhir di jendela IM ia berkata "Tadi Boss ngelihat aku lagi, dan gak keberatan, Subhanallah,".

Perbincangan-perbincangan kami di instant messenger seputar penampilan barunya, perubahan besarnya hari ini terus berlanjut hingga detik ini saya menuliskan kalimat akhir untuk cerita ini yang juga merupakan quote dari pasangan hidupku.

"Aku tidak menunggu rajin shalat untuk menutup auratku. Tapi hijabku yang menuntunku untuk tak lagi meninggalkan lima waktu dan selalu mengingatNya," -Irene Bernadette- (Muallaf sejak 2009, hijrah sejak menemukan kedamaian ketika mendengar gema adzan, terenyuh ketika mendengar alunan ayat suci Al-Quran dan melihat jamaah muslim shalat. Penggemar musik-musik cadas, penyuka makanan manis, penulis [untuk beberapa celah dunia maya yang patut direcoki dan blog pribadi] dan bekerja untuk tujuan kemanusiaan)

0 comments: