Sunday, August 28, 2011
Gelitik Mudik
Katanya hari rayanya umat Islam a.k.a Lebaran tinggal beberapa hari lagi. Ada yang bilang satu, ada yang dua. Mungkin juga tiga atau empat. Tapi yang jelas ada fenomena tahunan di tanah yang katanya banyak airnya ini. Yea, MUDIK.
Untuk yang satu ini, kebanyakan orang yang mencari sejumput nasi di perantauan akan mati-matian memperjuangkan. Peduli setan dengan harga tiket yang meroket dan harus rela menguras isi dompet.
Esensinya sebenarnya simple saja, ingin berada di sekitar orang-orang terdekat. Karena kalau di sini, gak kumpul di hari raya itu gregetnya beda. Jadi saya sih masih memaklumi dengan fenomena yang satu ini. Walau enggak sedikit mereka yang maksa.
Kenapa bisa dibilang maksa? Dari jaman masih pantauan arus mudik sampai jadi pemudik selalu saja sama. Jalanan penuh, angkutan umum luber penumpang dan waktu tempuh bisa melonjak dua kali lipat. Belum lagi dealer-dealer kendaraan pribadi bikin promo gila-gilaan jelang lebaran. Alhasil, gak cuman baju lebaran, motor dan mobil lebaran juga jadi lumrah.
Nyatanya, negeri ini masih didominasi masyarakat menengah bawah. Demi bisa pulang dari perantauan dan menunjukkan sedikit 'hasil' dikreditlah motor untuk mudik. It's oke kalau yang mudik sendirian atau hanya berdua [sesuai kapasitas motor]. Nah ini, enggak jarang saya lihat orang tua dan 3 anaknya [masih balita semua] diajakin naik motor dari Bandung-Jogja atau malah Jakarta-Surabaya. Batin saya "Oh my Gosh!"
Motor barunya kelebihan tumpangan, belum masih bawa oleh-oleh A-Z buat orang tua di kampungnya. Berita kecelakaan jadi makanan sehari-hari para jurnalis yang di lapangan.
It's oke soal bagaimana mudiknya. Sekarang fenomena apalagi yang terjadi? Karena ribuan manusia itu melakukan perjalanan massal dari satu kota ke kota lain dengan keterbatasan sarana transportasi [ada yang harus menginap di ubin stasiun dan terminal yang dingin] dengan resiko cepot..eh copet yang mencoba nyari peruntungan dengan berbagai modusnya. Penjual makanan dadakan sampai pijit berjalan.
Nah lalu beberapa pihak yang tidak mudik mulai ramai bersahutan di dunia maya. Dari yang pengen mudiklah, sampai yang menganggap mudik itu cuman aktivitas buang-buang uang. Dianggap meremehkan ajaran agama karena di perjalanan mudik jadi tidak puasa dan banyak lagi. Apakah sebegitu perlunya justifikasi? Mudik itu cuman kultur kok. Lagian mau puasa atau tidak bukan hak manusia untuk menjustifikasi.
Ah, selamat mudik buat yang mudik...ingat, jangan udik!
Friday, August 26, 2011
Gula-gula Jejaring Sosial
Pertama kali saya nyemplung ke kehidupan yang namanya jejaring sosial itu sekitar tahun 2006. Jaman Friendster masih booming-boomingnya. Alasan saya waktu itu bikin akunnya masih sekedar ingin mengetahui lebih banyak interaksi di dunia maya.
Lanjut bikin myspace. Alasannya lebih jelas, memudahkan interaksi dengan band-band di seluruh dunia *hasyah. Modifikasinya lebih banyak dari FS. Selain itu bisa posting lagu di sana.
Habis myspace muncullah Facebook. Tadinya jejaring sosial ini nampak begitu eksklusif. Saya masih ragu-ragu saat mau membuatnya, walaupun akhirnya bikin juga dan kini temannya ada 1000.
Ada lagi Twitter, saya bikin akunnya buat ngikutin update berita selebritis dan peristiwa. 140 kata yang ajaib lah pokoknya.
Terakhir saya bikin Google+. Alasannya cukup simple, saya punya akun Google dan sebagai pekerja media di bidang gadget and tech, rasanya saya harus bikin.
Dari sekian banyak jejaring sosial yang saya bikin akunnya (sebagian udah jarang sekali dibuka) semua ada fitur unggulan dan kelemahannya. Mulai dari yang bisa dihacklah, bisa diacak-acaklah, bisa nyebarin gosiplah and tons of another bla-bla.
Yang lucu, ada beberapa anak muda (literally) masih berusia di bawah 20-an yang sibuk dengan mengacaukan jejaring sosial ini. Tiap menit selalu posting hal-hal yang tidak penting, dari yang emaknya bikin kue tapi gagal, keinginannya untuk bisa bebas tapi ada kritikan dari orang tuanya, sampe adiknya nembak temennya juga ikut diposting.
Well, sah-sah aja mau posting apapun. Tapi juga kompensasinya harus mau dikomen apapun. Ruang bebas ini mbak, mas, dek, pak, bu. Kalau gak mau kena getahnya, ya gak usah main jejaring sosial sekalian. Dan kalau mau protektif, terbebas dari gosip, stalking dan berbagai gula-gula jejaring sosial lain ya STOP. As simple as that kok.
Namanya gula itu manis. Yang manis itu enak tapi kalau kebanyakan juga bahaya. Apakah jejaring sosial manis? Buat saya sih IYA!
Sunday, August 21, 2011
The Crumpled Paper
Lagi gak mau cerita soal ini, tapi situasi bikin harus cerita. Lagi not in the mood to write this note, but God sent me to wrote this. Jadi ada apa saudara-saudari? Apakah si perusak pesta sedang dilanda durjana? *_*
Ah tidak juga, cuman mau bilang satu hal, yang terjadi terlanjur jadi dan memang fakta yang terbaik mengatakan demikian. Nasi tidak lantas jadi bubur karena kita memang masak bubur, dan buburpun masih bisa jadi menu yang enak kok.
Setelah imunisasi sakit hati, seharusnya memang yang disuntik lebih imun sama rasa sakit. Tapi ternyata digores pisau tetap saja muncul lukanya. Diguyur alkohol lagi? Sembuh lagi, walau perih. Luka lagi? Diguyur lagi saja *_* tapi jadinya terlalu berulang. Sampai lama-lama dibiarkan saja mengering tanpa perlu diguyur atau diobati lagi.
Sudahlah, lama-lama kebal juga, sampai akhirnya lidah tak lagi bisa membedakan. Manis, asam, asin semua sama..Lalu? Errr...tidak, kertasnya sudah saya remas-remas dan membuat lagi tulisan di kertas baru. Yuk tulis lagi :)
Wednesday, August 17, 2011
Hari Kemerdekaan dan Nyanyian Lagu Kebangsaan
Katanya sebuah negara sedang merayakan selebrasi kemerdekaannya hari ini. Dari berbagai surat kabar dan media online di layar 24 inci yang dibaca si perusak pesta banyak berita mengenai HUT ke-66 ini.
Satu hal yang cukup menggelitik buat saya adalah angka 66 yea 6=6=6 hoho, jadi teringat ketika si Corey 'Slipknot'-'Stone Sour' Taylor menyanyikan "If you are 555 and I'm 666,". Memang sedikit kurang nyambung, tapi kolaborasi angka ini walaupun 6nya kurang satu cukup menggelitik saya. Kenapa? Ah kalau ini hanya reka-reka saja kok.
Nah, tadi pagi saya bangun dan kotak pembodohan yang menemani saya tidur masih menyala. Suara lengkingan vokalis salah satu band gahol masa kini membangunkan saya yang baru tertidur sedikit lebih dulu sebelum ayam jantan berkokok. Jreng, saya pun bangun. Sambil kucek-kucek mata saya melihat sang artis mengenakan busana putih merah. "Oh 17-an nih maksudnya," gumam saya.
Sambil bersih-bersih kamar si kotak 15 inci itu masih belum berganti acara. Saya tidak sempat mengganti channel, lagi-lagi artis berikutnya tampil dengan nuansa merah putih. Tapi apa yang mereka nanyikan adalah lagu cinta picisan dan tidak ada hubungannya dengan nuansa kebangsaan dari busana yang mereka kenakan.
It's oke kok buat saya mereka mau nyanyi seperti apa, lagunya kayak apa dan seperti apa musiknya. Toh kalau saya tidak suka tinggal tekan tombol mute. Nah yang cukup menggelitik saya untuk menulis soal ini adalah relevansi kostum merah putih dan lagu nasionalnya. Kenapa di hari yang katanya peringatan kemerdekaan ini mereka tidak menyanyikan lagu kebangsaaan atau lagu nasional dengan gaya mereka?
Sama dengan ketika saya menghadiri peringatan 17-an di salah satu daerah beberapa tahun lalu. Dari kamar tempat saya menginap sayup-sayup terdengar lagu nasional diputar. Namun beranjak siang, lagu-lagunya berganti jadi lagu MElayu toTAL yang sedang hype pada jamannya. Hingga sampai malam selebrasi dengan berbagai lomba dan panggung, tidak ada lagi gaung peringatan hari kemerdekaan selain kerlap-kerlip lampu merah putih dan bendera plastik yang masih menjadi dekorasi venue.
Kalau begini, apakah ada bedanya peringatan Agustusan, 17-an ataupun peringatan hari kemerdekaan dengan panggung dangdutan? Ada yang tersindir dengan tulisan saya? Loh bukannya kini sudah MERDEKA untuk mengemukakan opini?
Subscribe to:
Posts (Atom)