Wednesday, July 28, 2010

'Pena dan Kertas Adalah Hidupku'


Kebanyakan orang memilih menulis sebagai hobi atau penopang hidup. Tapi bagi seorang Sundea (28) menulis adalah hidup. Ibarat orang bernafas, tak ada tulisan berarti tak ada kehidupan.

"Mungkin orang lebih memilih menulis sebagai bagian dari hidup. Namun bagi saya, menulis adalah hidup saya. Yang berarti tidak ada kehidupan ketika tidak menulis," tutur Sundea yang akrab disapa Dea.

Sundea memulai karir menulisnya sejak anak-anak lain masih sibuk bermain dengan bonekanya. "Saya mulai menulis secara serius sejak usia lima tahun. Semua terinspirasi ketika saya bermain orang-orangan saat balita. Dari sana saya kerap bercerita, dan ketika bisa menulis saya mulai menuangkannya di atas kertas," ujar Dea.

Cerita awal Dea memang masih terinspirasi dari film anak-anak Google Five yang pada saat itu sedang booming-boomingnya. Hanya saja, Dea mengubah tokoh dan musuh-musuhnya menjadi teman, sahabat dan apa yang tidak disukainya.

"Dulu ceritanya ada pasukan robot namanya Kenta. Isinya saya dan teman-teman. Formatnya semi komik, tapi komiknya tidak bernuansa Jepang lebih Indonesia," tutur Dea.

Buku kecilnya menuntun Dea untuk menulis lebih kontinyu. Sejak menginjak bangku sekolah dasar, Dea kerap membuatkan cerita-cerita untuk teman-temannya.

"Biasanya kalau jenuh di kelas, saya selalu minta kertas dan menawarkan ke teman-teman untuk membuatkan cerita," ujarnya.

Di kelas lima SD, Sundea mencoba menulis untuk format majalah. "Dulu saya lihat majalah yang ada, terus saya buat sendiri dengan tulisan tangan dibundel dan difotokopi," tutur Dea.

Pada saat menginjak usia 14 tahun, Dea semakin mantap untuk meneguhkan hatinya untuk menjadi penulis.

"Ketika teman-teman ditanya ingin menjadi apa dan menjawab profesi A,B atau apapun saya dengan mantap ingin menjadi penulis handal," ujar Dea.

Menginjak bangku SMA, Dea mulai mengirimkan tulisan-tulisannya ke majalah remaja. Namun berbeda dengan cerpen-cerpen yang marak dengan tema cinta remaja, tulisan Dea lebih indie dan menerabas pakem penulisan cerpen yang sedang hype di publik.

"Bukan ingin beda, tapi curahan hati sudah eksperimental seperti itu. Jadilah model tulisan eksperimental menjadi ciri khas tulisan-tulisan saya," imbuh Dea.

Kemampuan menulis Dea yang unik akhirnya membawa berkah bagi Dea. Di tahun 2004 ketika ia merilis Salamatahari, sebuah penerbitan indie Minorbook tertarik untuk menerbitkan buku tersebut.

"Waktu itu kebetulan Kimung dari Minorbook tertarik dengan tulisan saya. Akhirnya dibukukan, didistribusikan cukup luas dan ternyata hasilnya lumayan," ujar Dea.

Jeda setahun Dea kembali meluncurkan novel anak yang berjudul 'Dunia Adin'. Masuk ke industri yang lebih besar, nama Dea semakin dikenal di dunia penulisan.

"Sempat banyak yang bertanya apakah saya seorang
penulis buku anak-anak?. Ini yang sempat membuat sedikit kesal, karena saya tidak pernah memikirkan membuat buku untuk anak, remaja atau dewasa. Saya hanya menulis yang ingin saya tulis," imbuh sarjana Sastra Indonesia lulusan Universitas Padjajaran ini.

Kerja keras Dea terbayar sudah, meski mengaku finansialnya belum berlebih dari hasil aktivitas menulisnya. Wanita yang kini juga aktif mengurus blog milik Tobucil ini mengaku bisa bertahan hidup hingga sekarang karena ia menulis.

"Jelas ada pemasukan untuk hidup, setidaknya tidak kurang tapi juga tidak lebih. Tapi seandainya saya tidak bisa menulis, mungkin saya tidak akan bisa hidup," tutup Dea.

0 comments: