Thursday, July 15, 2010

Televisi Hari Ini : Layar Kaca atau Layar Kacang?

Sebuah kotak dengan berbagai dimensi dan ukuran, mulai dari yang kecil hingga yang extra besar telah menjadi bagian dari peradaban manusia modern saat ini. Dimanapun manusia berada kotak itu selalu menemani aktivitasnya, sekalipun dengan format yang berbeda (tablet TV,Broadband TV bahkan mobile TV seperti yang diaplikasikan pada telepon genggam terkini).



Sungguh sangat hebat si kotak ini, ia bisa menenggelamkan popularitas surat kabar dengan ragam bahasa tulisnya, menyurutkan gema informasi dari gelombang transmisi radio dan masih banyak segi kehidupan yang terdigitalisasi oleh kotak ini. Jika melihat dari teknologinya, “kotak ajaib” dengan kode nama TELEVISI itu telah banyak bertransformasi. Bayangkan saja, puluhan tahun yang lalu kotak ini hanya sebuah layar bisu dengan gambar monokrom, lalu berkembang menjadi tabung cembung yang merefleksikan warna dan suara, hingga televisi modern dengan layar datar dan kemasan yang ultra tipis.



Jika teknologi layar kaca telah berkembang sedemikian pesat, bagaimana dengan konten acaranya? Sudahkah berjalan searah dengan teknologi produknya dan ada apa di balik menjamurnya stasiun televisi-stasiun televisi baru di negeri ini?. 24 jam sehari kehidupan kita dan selama itu pula televisi menemani kita. Bagaimana tidak, sekalipun tidak semua stasiun TV menayangkan acara seharian penuh, secara tidak sadar kita terus mencari stasiun tv mana yang masih menyajikan tayangan untuk para pemirsanya, sekalipun siaran itu tidak kita suka dan membosankan hingga kita tertidur di depannya dan layar kaca pun hanya menampilkan rangkaian semut yang bergemerisik.

Dahulu, saat hanya ada satu stasiun TV di negeri kita, acara TV masih sedikit “beradab” lantaran kontennya memang masih memegang kodratinya sebagai fungsi dari televisi itu sendiri, yaitu menyampaikan informasi, menghibur dan memperluas cakrawala orang yang menontonnya. Tidakkah kita masih ingat, dimasa tayangan TV begitu sederhana karena teknologi yang terbatas dan pada waktu itu masih sangat mahal, tetapi lebih mengena pada penontonnya? Lalu mengapa di era digital yang serba canggih ini, tayangan televisi nasional justru mengalami kemunduran kualitas? Apakah karena sumber dayanya yang masih perlu diedukasi lebih dalam, para generasi lama yang sudah kehabisan ide-ide kreatif atau para pembesar berkantong tebal terlalu haus akan deretan biner yang memenuhi rekeningnya, hingga pembatasan-pembatasan semu untuk generasi muda yang ingin menumpahkan kreasinya justru disumbat disana-sini dengan label budaya ketimuran kita!.

Memang tidak dapat dipungkiri, kalau sudah bicara masalah “komoditi jualan” komoditi yang menjual akan lebih dikedepankan. Termasuk di dalamnya komoditi jualan lewat televisi. Di masa lalu kontribusi uang negara masih cukup untuk mensubsidi stasiun televisi tanpa perlu menampilkan unsur jualan tadi. Namun budaya pengekor bangsa kita telah menjungkirbalikkan keadaan. Saat sebuah eksperimen bisa menghasilkan kepulan asap di dapur yang menciptanya, sekonyong-konyong semua orang berlomba-lomba menciptakan hal yang serupa kalau tidak malah menduplikasi seluruhnya.
Sama juga dengan tayangan televisi, saat iklan berhasil menjadi pohon uang untuk stasiun televisi, semua stasiun televisi berkompetisi mendapatkan porsi iklan terbanyak dari bos-bos perusahaan dengan permainan harga dan waktu tayangnya.

Okelah, saat para pembesar stasiun TV berkilah bahwa iklan adalah sumber pemasukan untuk menutup biaya produksi dan operasional. Tapi para pemirsa tentunya berharap pemasukan yang jumlahnya lebih dari cukup untuk 7 turunan itu bisa berbuah dengan tayangan-tayangan yang sepadan dengan iklan-iklannya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah yang didapat oleh bos-bos televisi itu sudah sepadan dengan yang kita dapat sebagai pemirsa? Tentunya anda semua sepakat untuk menjawab BELUM atau bahkan TIDAK. Puluhan tahun sudah stasiun televisi menghiasi kotak layar kaca kita, dari yang solid pada jalurnya, ada pula yang sudah banting stir kesana kemari terbawa arus komersialisasi hingga yang akhirnya gulung tikar karena tidak kebagian kue iklan dengan kompetitornya.

Tentunya masih hangat di ingatan kita semua saat TVRI masih setia dengan siaran beritanya, tayangan budaya daerah dan acara anak-anaknya. Beberapa waktu kemudian muncul stasiun TV swasta pertama di Indonesia yang cukup membawa angin segar untuk masyarakat Indonesia dan membebaskan mereka dari kemonotonan stasiun TV tunggal. RCTI pada awal berdirinya berhasil menyajikan acara-acara yang sebelumnya sulit untuk ditonton masyarakat umum yang tidak mampu membeli antenna parabola. Sebut saja film-film barat yang sangat populer dimasa itu : The Simpsons yang merepresentasikan kehidupan keluarga yang unik, Mac Gyver dengan otak ajaibnya, hingga si mobil pintar KITT yang selalu ditunggu oleh jutaan pemirsa televisi di Indonesia. Selain itu masih ada acara anak Sesame Street yang selain menghibur bisa mengajak anak belajar berbahasa Inggris dengan menyenangkan. Berbagai siaran langsung pertandingan olahraga juga turut ditayangkan, intinya jutaan mata pada waktu itu berhasil terhibur dan cukup teredukasi .

Perjalanan waktu membuat para “kaum berduit” di sana penasaran dengan bisnis yang kelihatannya akan menjanjikan ini. Berbagai stasiun televisi swasta pun bermunculan satu persatu. Awalnya masing-masing menjanjikan label dagang yang bisa memberikan pilihan tayangan yang heterogen untuk masyarakat di Indonesia. Sebut saja TPI dengan label siaran pendidikannya dan ANteve yang saat itu masih me-relay siaran MTV internasional.

Siklus pun berulang kembali, di masa-masa awal berdirinya stasiun televisi akan menayangkan apa yang menjadi trademark-nya. Yang berlabel siaran pendidikan menayangkan siaran-siaran edukasi, yang berlabel hiburan akan menayangkan hiburan-hiburan yang inovatif. Intinya semua masih berjalan on the right track, tidak ada unsur membodohi atau merusak moral bangsa. Namun masalah klise kembali berulang, saat tumpukan kertas bertuliskan deretan biner yang menggiurkan datang menggoda, seketika itu pulalah dunia televisi dijungkirbalikkan.

Mengapa saya bisa berkata demikian? Karena memang fakta yang ada seperti itu, saat tayangan gossip meraih rating tertinggi, otomatis para pengiklan berlomba-lomba menyeponsori acara semacamnya dan para produser pun turut berebut kue iklan. Begitu pula saat aneka quiz berhasil menyedot pandangan jutaan mata, semua produser berlomba-lomba membuat quiz tanpa mempedulikan substansinya. Masih banyak acara-acara TV lain yang telah terjungkir balikan dari tujuan awalnya , sebut saja sinetron, reality show, panggung-panggung talent instant, hingga acara-acara yang oleh anak muda zaman sekarang disebut GEJE alias gak jelas tujuan dan arahnya.

Sejumlah mata yang mulai kritis terhadap keadaan mulai berani melakukan dobrakan, namun sangat disayangkan para pembesar stasiun televisi itu malah memberikan counter attack dengan merubah bungkus-bungkus lama dengan kemasan baru yang sedikit lebih cling saja. Bukan merespon kritik-kritik tersebut untuk berubah kearah yang lebih baik. Tentu masih membekas di ingatan saat para produser acara gossip merubah label acaranya menjadi infotainment alias information and entertainment. Namun perubahan tersebut serasa tidak ada bedanya dengan tayangan terdahulu, lantaran konten acaranya juga tidak jauh berubah. Begitu pula dengan sinetron, saat sinetron dikritisi membawa dampak buruk pada kehidupan generasi muda, para produser membungkus sinetron dengan kemasan sinetron religi yang memang booming disana-sini walaupun secara global mental masyarakat Indonesia juga masih begitu-begitu saja, cenderung down malah.

Acara quiz yang dulu sudah cukup baik seperti Siapa Dia, Berpacu dalam Melodi, Tak-Tik Boom dengan pertanyaan-pertanyaan edukasinya hingga yang muncul di awal 2000an macam Family 100 yang saduran dari Family Feud America hingga Who Wants to Be a Millionaire versi Indonesia malah dikacaukan dengan quiz-quiz yang tidak jelas maksudnya selain sekedar memburu hadiah pemberian para sponsor. Begitu pula dengan reality show, tontonan yang seharusnya bisa menjadi refleksi kehidupan masyarakat ini malah melenceng dari tujuannya. Malahan ada juga yang mentah-mentah meng-copy tayangan luar yang ratingnya disana memang tinggi diduplikasi dengan host seorang yang sudah “ganti kelamin” dengan banyolan dan polahnya. Memang masih ada sedikit tayangan reality show yang baik semisal Kick Andy,Republik Mimpi hingga reality show luar negeri macam Oprah Winfrey Show dan Nanny 911, meskipun bisa diakui tayangan-tayangan yang bonafid semacam itu masih diwadahi satu-dua stasiun televisi saja.

Industri televisi juga merangkul industri-industri lain yang sekiranya bisa memberikan profit dan menunjang kelangsungan produkusinya. Tidak salah memang, selama masih mutualisme antara yang memproduksi dan yang mengkonsumsi. Salah satu contoh yang terlihat marak adalah industri televisi yang merangkul industri musik. Di luar negeri keadaannya memang cukup menguntungkan. MTV yang menjadi ikon musik anak muda tidak melulu menampilkan musisi-musisi yang komersil secara pabrikan, namun masih mewadahi musik-musik cutting edge yang underrated. Sebut saja masih ada acara MTV HeadBangersBall untuk pecinta musik keras, MTV Jamz untuk penggemar Black Music, bahkan di Jepang MTV Jepang menampilkan band-band Jepang berkualitas sekalipun belum sukses secara komersil. Selain itu meskipun labelnya “anak muda”, masih ada MTV Classic untuk para generasi yang sudah agak “old”.

Bagaimana dengan MTV Indo? MTV Indo yang tadinya bagian dari acara di ANteve cukup berkembang sesuai dengan atmosfer permusikan Indonesia. Serupa dengan di luar negeri, MTV Indo awalnya banyak menayangkan video clip musisi local dan luar baik yang komersil maupun non komersil. Namun saat kuping melayu yang mendayu-dayu menjajah telinga orang-orang Indonesia, MTVindo ikut-ikutan latah dengan mengurangi porsi band-band yang underrated dan memperbanyak tayangan band-band yang “melayu banget” sampai anak-anak band di kota kembang menjuluki “Melayu Television” dan masih ditambah lagi dengan menayangkan iklan-iklan kosmetik yang segmennya bukan untuk target audiensnya. Untuk kesekian kalinya komersialisasi menang melawan kreativitas.

Masih banyak lagi kemerosotan dunia pertelevisian Indonesia mulai dari penayangan berita yang memprovokasi, instant idolization yang tak kunjung habis, sinetron dan film televisi yang kejar tayang, hingga berita kriminal dan komedi slapstick yang monoton. Duplikasi juga masih banyak terjadi,baik di konten acaranya maupun iklan-iklannya. Padahal sumber daya manusia yang ada bisa dikata banyak yang berkompeten dibidangnya, bukankah tiap taun muncul ribuan lulusan-lulusan universitas dan ahli-ahli dibidang komunikasi dengan segudang skill dan kreativitasnya. Tentu, SDM dan teknologi yang baik tidak akan membawa perubahan di dunia pertelevisian kita selama para penguasanya masih sibuk berebut kue keuntungan. Yang ada malah lingkaran setan di antara SDM-Bos Televisi dan Audiensnya. Siapa yang paling menelan kerugian?

Tentu audiens, lantaran tidak mendapat acara yang layak tonton, sehingga sulit diajak untuk menjadi audience yang pintar. Jika kondisi seperti ini dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin predikat layar kaca beralih menjadi “layar kacang” lantaran konten-kontenya hanya seperti kacang yang diganti-ganti kulitnya!. Sampai di sini masihkah anda tertarik menghidupkan televisi Anda saat ini?

0 comments: