Friday, July 23, 2010

Punkrocker yang Cinta Anak-anak


Apa yang ada di benak anda saat mendengar kata punk rock? Rambut mohawk? Aksesoris ber-spike?, hingga tindikan dan sepatu boots adalah tampilannya. Namun dibalik kegaharan tampilan luarnya. Ada nilai positif yang dipetik dari seorang punk rocker seperti persahabatan dan kebersamaan.

Salah satunya, Phaerlymaviec Musadi (33), seorang punk rocker yang begitu menaruh perhatian pada dunia anak-anak.

Awalnya, pria Sunda kelahiran Jerman 1 Januari 1976 ini 'hanyalah' seorang bocah biasa yang hidup dikeluarga dengan banyak saudara yang begitu dekat dengan konflik. Namun siapa sangka, tak seperti kebanyakan anak yang menjadi korban broken home lainnya, lelaki yang akrab disapa Pei ini malah menjadi dekat dengan anak-anak.

"Dulu ayah saya mendidik dengan kekerasan. Begitu pula dengan ketujuh saudara saya. Bagi ayah saya, mendidik dengan kekerasan akan membuat turunannya menjadi anak yang baik," tutur Pei.

Merasa jengah dengan kehidupan keluarga yang penuh kekerasan, di usia belia saat ia masih berstatus murid sekolah dasar di Jerman, Pei 'keluar' dari lingkaran hidup keluarganya di sana.

"Pada saat masih berstatus pelajar sekolah dulu, saya begitu sering pindah sekolah. Sampai-sampai saya sering tidak naik kelas. Bukan karena saya tidak mampu mengikuti pelajaran. Tetapi lebih disebab kan berpindah-pindahnya sekolah saya dari Jerman ke Indonesia, dari Indonesia ke Jerman lagi, yang waktunya tidak pernah pas dengan tahun ajaran," ujar Pei.

Meski begitu, Pei bukanlah anak yang tertinggal dari segi akademis. Ia menguasai tiga bahasa secara fasih, Inggris, Jerman dan Perancis. Kemampuan berbahasanya, membuat dirinya mudah berhubungan dengan orang-orang luar negeri yang kelak membantu mentransfer ilmu untuk membesarkan usahanya.

Ketika kembali ke Indonesia di usianya yang masih 18 tahun, Pei kembali mendapat sandungan untuk naik kelas karena rapornya ketinggalan. "Karena tidak ada yang mengurus saya keliru membawa rapor. Jadilah saya yang tadinya berharap ingin masuk IPA karena kuat di ilmu fisika nyaris dipindahkan ke jurusan sosial. Namun saya tolak dan memilih mengulang. Alhasil saya baru lulus SMU di usia sekitar 20 tahunan," imbuh Pei.

Pei yang mulai beranjak remaja mulai akrab dengan dunia musik. Tercatat ia pernah tergabung dalam grup industrial Helm Proyek dan band cadas Diestater di sekitar tahun 98.

"Maklum saja, saya begitu dekat dengan anak-anak Ujung Berung Rebel. Temasuk juga menyambangi Saparua setiap akhir minggu. Dari sana saya yang dasarnya sudah Punkrock menjadi semakin ngepunk," tutur Pei.

Diluar kepunkrockan Pei, Pei menyimpan bakat dibidang debat. Berkali kali ia mengantarkan SMA 10 Bandung ke pertandingan debat Bahasa Inggris. Kegemarannya ini berlanjut saat menginjak bangku kuliah di tahun yang sama.

"Saat saya masuk NHI dan mengambil perhotelan saya disibukkan dengan debat lagi, alhasil kuliah berantakan juga," ujar Pei.

Namun disela-sela aktivitasnya untuk menghidupi diri dan menjadi aktivis, Pei tidak lupa pada dunia anak-anak.

"Saya selalu teringat dengan masa kecil saya yang begitu penuh kekerasan. Sehingga di tahun 2000 saya mendirikan Yayasan Adikaka. Misi awalnya menggandeng remaja yang bermasalah agar bisa hidup layak seperti remaja-remaja lainnya. Namun ternyata setelah melakukan studi literasi
dan penelusuran langsung saya mendapati masalah remaja berasal dari peristiwa-peristiwa tak mengenakan yang menggelayuti selama masih anak-anak," tutur Pei.

Dari sana, Pei mulai mengganti haluan Yayasan Adikaka menjadi yayasan yang concern pada masalah anak-anak. Namun kenyataan berkata lain, alih-alih ingin mengembangkan yayasan, Pei yang belum memiliki usaha apapun untuk menopang yayasannya membuatnya harus menutup yayasannya di tahun 2001.

"Jalan setahun, Adikaka harus collaps karena kurang dana. Namun saya terus mengembangkan usaha saya dengan merintis clothing yang membuat merchandise band-band lokal. Akhirnya di tahun 2004, saya berhasil membangun kembali Adikaka," tutur Pei.

Di yayasannya, Pei mengajak anak-anak di daerah Baranangsiang yang kebetulan sedaerah dengan kantor clothingnya Parental Advisory dan db clothing.

"Kenapa saya pilih disana, karena kehidupan disana begitu 'bronx' atau keras. Bahkan bisa dibilang lebih keras ketimbang masa kecil saya di Jerman dulu," imbuh Pei.

Di depan kantornya, Pei membuat ramp skateboard dan memberikan mainan-mainan layak pakai untuk anak-anak.

"Sengaja, sambil kerja saya memperhatikan anak-anak main. Tempat main ini saya beri nama Neverland playground. Terinspirasi dari negeri khayal Peterpan, di mana
anak-anak bisa melakukan apa saja. Begitu pula di sana, saya berusaha memfasilitasi anak-anak untuk bermain dan belajar diluar sekolah formal." ujar Pei.

Pei juga aktif mengkampanyekan 'Never Grow Up Campaign' dimana orang tua seharusnya bisa menjadi anak-anak saat bermain dengan anak-anak. "Pada saat awal merintis yayasan, saya kerap mengkampanyekan bermain 15 menit dengan anak. Karena orang tua kerap lalai dan enggan untuk ada di sisi anak-anak. Padahal itu sangat penting, sehingga bisa tahu isi pikiran anak-anak," tutur Pei.

Hingga saat ini, Pei terus aktif menggarap dunia anak-anak. Terbukti dengan dibuatnya official shop Parental Advisory yang membuat busana anak tema ekstrim dengan bahan yang berkualitas dan terus menggarap Neverland Playground.

"Anak-anak adalah sahabat terdekat saya. Dan dunia anak-anak tidak bisa lepas dari kehidupan saya. Sekalipun sekarang saya sudah lebih mapan secara finansial, prioritas saya tetaplah dunia anak," tandas Pei.

0 comments: