Thursday, July 15, 2010

Makan Jajan Ugal ugalan

Menikmati hidangan lezat dengan harga terjangkau adalah impian setiap orang,termasuk kami-kami yang sempat berstatus sebagai mahasiswa di sebuah kampus Sastra di kawasan Pleburan Kota Semarang. Kisah kuliner dalam tulisan ini adalah cerita nyata, dimana dalam sehari 5 mahasiswa berperut karet Edi Susanto,Edwin Rakhmanto,Pradipta Nugrahanto,Argo Purnomo dan Usamah Fahmi makan dengan ugal-ugalan di Jalan Hayam Wuruk (lokasi yang sebenarnya adalah lokasi ex kampus kita berlima).

Kejadian gila ini terjadi 3 tahun lalu sekitar pukul 10.00 WIB, setelah semua anggota tim perut karet berkumpul di halaman parkir kampus tercinta (karena menghabiskan waktu lebih dari standar waktu kelulusan :P). Dan acara yang dijuduli “Makan-makan Ugal-ugalan” ini dibuat saat kita semua hampir menyandang predikat LULUS [setelah hampir didepak keluar kampus]

Kita berlima segera menuju ke Kedai Rachel yang berlokasi di ujung jalan Hayam Wuruk tepatnya sih di dekat kampus biru [baca BPLP], tanpa basa basi anggota tim Edwin Rakhmanto yang memiliki nama alias TackAtlantia dan akhir-akhir ini kerap mengANALogikan namanya sebagai EdWinner ini bertanya pada sang penjaga kedai menu apa saja yang menjadi andalan di sini, sang penjaga yang malu-malu kucing disapa mahasiswa semester akhir dengan potongan rambut yang masih [ehm so called emo style] menyebutkan Soto Ayam dan Ayam Goreng.

Setelah merogoh kantong saku depan, celana kiri, kanan, dan belakang akhirnya gamer yang kantung matanya berwarna kehitaman [bukan karena memakai eye shadow-tapi kebanyakan begadang] ini memilih menu yang dijanjikan.

Nyaris tanpa suara [karena belum sarapan] 2 menu langsung dilahap dari membrakot ayam hingga ketulang-tulang hingga soto dikokop langsung dari mangkoknya. Kita berempat yang melihat nyaris termelongo-melongo lantaran seperti ada tayangan TV Champion [edisi balapan makan].

Karena dasarnya Edwin enggak biasa makan pakai sambel, tantangan makan soto campur sambel harus dilakoni. Alhasil soto dimakan sambil beratraksi perkusi [lho! Maksudnya nggebrak-nggebrak meja lantaran kepedesan].

4 orang lain yang untuk sementara hanya jadi penonton atraksi Edwin minum Es Kelapa Muda yang dijual pakai mobil pick up. Entah kenapa perut saya belum-belum sudah serasa mau mengeluarkan semua isinya. Tapi demi menghormati orang-orang yang lagi makan akhirnya rasa mual saya tahan saja.

Di kedai ini ada fasilitas karaoke, tadinya Mbah Edi yang setiap pulang kampus hobi karaoke gratisan di basecamp Menwa sudah mau menyambar mic. Tapi langsung diingatkan Argo “Mbah ojo mbah, jeh awan,”. Saya sendiri tidak mengerti apa hubungannya awan dan ojo [iya maksudnya siang dan jangan win.. :D].

Berbicara mengenai harga,harga disini bisa dibilang cukup lumayan mahal untuk ukuran mahasiswa [waktu itu jatah makan kita sehari kayaknya Rp 3 ribu. Karena Edwin dan saya kebanyakan jajan CD dan Argo, Fahmi dan Mbah Edi kebanyakan jajan rokok] mengingat seporsi Ayam Goreng dihargai Rp.7.500 dan Segelas Es Kelapa Muda bisa ditebus dengan Rp.2.500 [kecuali niat karaokean di sini :P]

Makan ugal-ugalan dilanjutkan ke Warung Victor, disini yang menjadi tester adalah saya sendiri. Keempat anggota lainnya mengambil tempat duduk dan mengambil minuman ringan yang ada didalam kulkas Warung Victor [minuman ringan bagi Argo adalah Kopi :P. “Seng abot opo go? [yang berat apa Go? Lemari katanya,”. Tidak lama kemudian saya makan Soto Sapi dan Nasi Goreng Babat.

Soto sapi diaduk-aduk dan WOW, ternyata di dalamnya ada aneka jeroan juga. Betapa bisa dibayangkannya asupan kolesterol yang saya makan pagi itu. Benar-benar cara ‘bunuh diri’ yang jos gandos kalau kata Edwin.

Soal harga, yaa lumayan saja lah. Seporsi Nasi Goreng Babat dihargai Rp.4.500 dan Sotonya Rp 5 ribu. Minumnya sekitar Rp 1 ribu doang [masih zaman waktu itu]. Dasarnya saya sudah mual karena Es Kelapa, diisi jeroan jelas semakin eneg. Tapi lagi-lagi ditahan lagi lantaran masih banyak warung yang belum dijajal.

Dengan langkah yang sedikit kekenyangan Mbah Edi melangka ke Warung Idjo,”Warungnya Cah Sastra”. Memang tidak sedikit mahasiswa sastra umumnya yang berstatus sebagai pendatang pernah menyantap hidangan disini. Baik yang cowok maupun cewek yang agak-agak ilpil [pake P kalo kata ABG sekarang] pernah belok ke sini utamanya pas akhir bulan karena kantong kempes :P.

Disini, Edi langsung memesan seporsi Nasi Rames plus Telur Dadar, Mangut dan EsTeh sementara kita berempat memilih minum saja. Warung Idjo pernah mengalami renovasi di tahun 2006 mengingat kondisinya yang mengkhawatirkan. Ma’e Sementara Edi dengan lahapnya menyantap nasi ramesnya membuat Edwin dan Argo Purnomo ngiler juga akhirnya mereka memesan seporsi nasi rames dan gorengan untuk dimakan berdua [romantis banget lho, sayang waktu itu enggak difoto] ditambah segelas teh hangat yang menjadi minuman favoritnya Edwin.

Kemesraan bertambah saat Edwin minum teh :D. Kenapa? Karena waktu minum the yang masih panas itu Edwin minum pakai sedotan yang jadinya langsung muncrat ke celananya Argo dibarengi teriakan “Adoh win-Adoh win, opo iki!” [Sembari memegangi bagian tengah celananya :D].

Seporsi nasi rames dengan gorengan disini cukup ditebus Rp 2.000 saja plus telur cukup dengan Rp.3.000 dan segelas EsTeh manis dihargai Rp.500. Dengan harga yang sangat murah ini membuat Warung Idjo menjadi warung kebanggaan mahasiswa Sastra di masa keemasannya.

Makan ugal-ugalan kami berlanjut ke Warteg Citra Rasa yang terkenal dengan Soto Betawinya,sedikit lucu juga mengingat warung ini adalah Warung Tegal namun memiliki menu andalan Soto Betawi.

Semua anggota tim kami sepakat memesan Soto Betawi disini lengkap dengan EsTehnya [kali ini agak serius lantaran memang begitu adanya]. Fahmi anggota tim kami yang tidak terdengar suaranya dari awal acara makan ugal-ugalan nampak lahap menyantap sotonya begitu juga Edwin, Argo , Mbah Edi yang baru saja menyantap rames Warung Idjo tidak ragu untuk memesan Soto Betawi di sini.”Mak nyos tenan” ungkap Edwin setelah soto di mangkoknya kandas. Sementara saya yang masih kekenyangan dipaksa makan juga dan soto yang aslinya lumayan enak ini akhirnya tidak terasa karena mual dan kekenyangan.

Warteg ini sempat menjadi spot favorit mahasiswa sastra untuk berkumpul di sela kuliah. Maklum harga makanan disini juga cukup bersaing untuk semangkok Soto Betawi cukup dengan Rp.4.000 dan segelas Esteh dihargai Rp.1.000.

Dari sini kami sempat berhenti lantaran perut Edwin, saya dan Argo kesakitan tinggal Fahmi dan Mbah Edi yang masih semangat bahkan sempat merokok Djarum.
“Lanjut!” kata Mbah Edi setengah teriak bak mengkomandoi pasukan Menwa :D.

Dengan langkah berat dan kantong yang entah masih ada duitnya atau tidak, kita melangkah ke Warung Putra Solo. Warung ini memiliki menu andalan Soup Buah dan Bakso Bakar. Edwin dan saya ‘dipaksa’ makan di warung ini setelah sebelumnya mengelak karena kita hampir muntah kekenyangan, namun karena dipaksa juga kita bersedia menyantap kedua makanan ini.

Di saat-saat perut kekenyangan, Edwin masih bilang ”enak juga nih,recommended lah” sementara Argo, Fahmi dan Mbah Edi melanjutkan Makan Ugal-ugalan ke Warung Pecel Dan Gado-gado Bu Sigit, harga seporsi Gado-gado Rp.4.000,Pecel Rp.2.000 dan gorengan cukup dengan Rp.500 saja. Untuk Warung Putra Solo harga Seporsi Sup Buah&Bakso bakar masing-masing Rp.3.000

Merasa masih ada ruang kosong di perutnya, Mbah Edi melangkah mantap ke Warung Bu Nardi dan sempat berbincang-bincang dengan pelayan-pelayannya yang sedikit genit

”masnya mau minum apa?”begitu suara genit itu menggoda Mbah Edi saat memesan seporsi Nasi Rames plus Rempelo Ati disini. Nampaknya Mbah Edi-lah yang paling semangat memesan dalam acara makan ugal-ugalan ini ,dengan lahapnya dia menghabiskan Rames Ati dari Warung Bu Nardi yang dibanderol dengan harga Rp.5.000 per porsi.Warung Bu Nardi juga menjadi spot favorit mahasiswa sastra UNDIP dipagi hari mungkin karena letaknya yang persis di depan kampus sastra UNDIP.

Sementara itu saya ,Edwin Argo dan Fahmi sudah mengeluh kekenyangan tidak diperbolehkan melewatkan mencoba Roti Bakar,Tela-tela,Kentang goreng,Es Gempol dan Rujak Serut yang ada di sepanjang perjalanan menuju Warteg Barokah. “Tidak boleh ada yang kelewat,” kata Argo [nyadar po rak go ngomong ngono ki :P].

Sesampainya di Warteg Barokah selera makan Fahmi kembali muncul dan tanpa ragu-ragu mengajak saya untuk makan lagi. segera Nasi Ayam Goreng Fried Chicken dan Nasi Cumi-Cumi terhidang di meja. Saya yang sudah kekenyangan nyaris tidak bis menikmati Cumi-cuminya yang biasanya terasa enak sekali untuk ukuran anak kos ,namun apa daya makanan yang sudah dipesan harus dihabiskan.

Lebih parahnya saya memesan segelas Es CofeeMix yang membuat perut semakin bergejolak. Sementara Fahmi masih sanggup menenggak Es Jeruk dan diakhiri dengan hidangan pisang sebagai pencuci mulut di Warteg Barokah yang senantiasa buka 24 jam ini. Harga hidangan di warteg ini cukup bersahabat untuk seporsi nasi Ayam cukup dengan Rp.5.000 saja dan nasi Cumi Rp5.500,untuk minuman segelas CofeeMix dingin dan Es Jeruk dibanderol Rp.2.000. [waktu itu ya].

Dengan semangat ‘45 Mbah Edi yang ingin menyantap Bandeng Bakar di Warung Gendis pudar sudah karena warungnya tutup dan acara makan ugal-ugalan diteruskan oleh Argo yang dipaksa makan di Warung Padang Mahkota, disana ia memesan seporsi Nasi Rendang dan Es Hemaviton sementara Edwin,Mbah Edi,Dipta dan Fahmi harus menuntaskan acara makan ugal-ugalan ke WM.Bu Mien.

Warung yang kesannya “gelap” ini menjadi pilihan Mbah Edi untuk menjajal seporsi Nasi Rawon. Seporsi Nasi Rawon dihargai Rp.3.500 dan Argo menghabiskan Rp.8.000 untuk seporsi rendang dan es Hemaviton di WM.Mahkota.

Edwin,Fahmi dan saya segera beranjak ke Soto Ayam Bu Wied dan memesan seporsi soto,es degan,es teler dan jus alpukat, berkali-kali Edwin menambah Sate Kerang,usus dan Sate Telur yang menjadi pelengkap hidangan Soto Bu Wied yang dekat dengan kampus Ekonomi UNDIP ini. Nambah jerawat dan kolesterol lah, pokoknya!

Seraya menunggu Argo membeli rokok,kami melanjutkan acara makan ugal-ugalan dengan makan Mie Ayam Pangsit,Ceker dan Bakso di Warung Mie Hayam. Namun Argo mengusulkan untuk menjadikan Mie Hayam sebagai tempat terakhir observasi dan meneruskan ke Warteg Bu Dewi yang dekat dengan Fak.Hukum UNDIP,Mbah Edi kembali memesan nasi rames di Warung ini, sementara Argo,Edwin saya dan Fahmi melanjutkan observasi ke WM.Bu Wati yang diselingi membeli tempura yang lagi-lagi harus dilahap kandas. Warung ini cukup istimewa lantaran pernah dikunjungi anak-anak Band PADI dengan adanya foto yang dipajang didepan WM.Bu Wati. Fahmi memesan Orak-arik dan EsTeh sementara Edwin,Dipta dan Argo memilih makan Roti Bakar dan minum jus melon di Café Banana yang sekaligus menjadi warung paling ujung pada acara makan ugal-ugalan kami hari ini.

Acara akhirnya berakhir di Warung Mie Hayam dimana semua anggota tim sudah berkumpul dan nampak kekenyangan seraya memegangi perut masing-masing yang makin menggembung. Disini hampir semua menu dipesan oleh kami dari Mie Ayam Pangsit,Ceker,Bakso hingga Nasi Goreng dengan minuman yang hampir seragam esteh dan teh panas untuk Mia Ayam disini dibanderol Rp.4.500 dan Nasi Goreng dibanderol Rp.5.000 dan minuman semua dihargai Rp.1.000.

Perut yang sudah sangat kekenyangan dan pusing [mungkin over kolesterol] membuat Edwin dan Argo nyaris tidak kuat mengedarai motor masing-masing. Sementara saya yang waktu itu menjadi boncenger Edwin sudah membulatkan tekad mencari toilet untuk mengeluarkan semua isi perut.

Sementara Fahmi yang datang naik mobil tak kalah sempoyongan, dan Mbah Edi yang pulang ke basecamp menwa nampak kuat walau kelihatan sudah memegangi perutnya.

Perjalanan pulang semakin menyiksa lantaran mendadak motor Edwin yang sangat berKharisma itu gembos di ban belakang. Pantesan saja motor mendadak meliuk-liuk oleng dan nyaris bertabrakan dengan motor Argo yang ada di sebelahnya.

“Wah ini gara-gara boncengernya kebanyakan makan,” kata Edwin. “Hus, mau dibayarin ban gak!,” kataku sengit. Dan akhirnya dengan perut yang kekenyangan saya dan Edwin mendorong motor yang kini sudah melayang entah kemana itu [sorry to say bro].

Sampai di tukang tambal ban, rogoh merogoh dompet menjadi aktivitas yang mendebarkan. Sial, di kantong Edwin hanya ada recehan 500 dan saya merogoh semua kantong dan akhirnya menemukan ribuan 5 lembar. Tanpa basa basi, setelah ban ditambal saya menyerahkan uang 5 ribuan itu dan meminta Edwin segera tancap gas.

Brooooom, broom, melewati Java Mall dan tanjakan Gombel, dan pes-pes-pes di tengah tanjakan, motor Edwin terbatuk-batuk. Gawat, alamat ndorong ini dan benar saja klakson mobil di belakang sudah bersahutan dan indicator bensin motor Edwin yang ngaco itu kembali ngadat. Untung saja dorong-dorongan ini sampai ke pombensin. Yang jadi masalah, duit tinggal Rp 2.500 dengan malu-malu Edwin bilang “Mbak sedapetnya,” dan diisi entah hampir gak ada ½ liter mungkin.

Maju lagi ke Banyumanik [hunian Edwin], lewat rumah Argo dan what de hell motor Argo oleng di depan rumahnya sendiri. Usut punya usut ternyata Argo kehilangan keseimbangan saat mau parkir di rumahnya sendiri. “Tibo konyol ki,” ujarnya ketika dihampiri saya dan Edwin.

2 comments:

Anonymous said...

wkwk isih kelingan to kowe dip?
nice article by the way ... it really shows one's character; especially edwin's, yours, and mine. and you seem still remember the food too XD
boy, i miss the old days ... let's do that again sometimes!

Pradipta Nugrahanto said...

Yes go,,,we must do it again before Edwin's marriage haha bujang party sek to yaaaa